Abraham datang meratapi dan menangisi Sara. –Kejadian 23:2
Baca: Kejadian 23:1-4, 17-20
“Sungguh menakutkan / mencintai sesuatu yang dapat disentuh oleh kematian.” Inilah permulaan sepenggal puisi yang ditulis lebih dari seribu tahun yang lalu oleh penyair Yahudi, Judah Halevi, yang diterjemahkan pada abad ke-20. Sang penyair menjelaskan apa yang mendorong ketakutan itu: “mencintai . . . / Dan kemudian, kehilangannya.”
Dalam Kitab Kejadian, kita melihat luapan emosi Abraham setelah kehilangan istrinya yang meninggal dunia. “Abraham datang meratapi dan menangisi [Sara]” (23:2). Bagian ini mengungkapkan kisah indah penuh duka tentang kepergian salah satu tokoh yang tak terlupakan dalam Kitab Suci: Sara, istri yang setia dari Abraham, sang wanita lanjut usia yang tertawa ketika mendengar kabar bahwa ia akan menjadi seorang ibu (18:11-12), tetapi menangis kesakitan saat melahirkan Ishak, putranya.
Kita sangat menghargai ayat singkat yang sangat manusiawi dalam Injil Yohanes: “Maka menangislah Yesus” (Yoh. 11:35). Air mata Sang Mesias di depan makam Lazarus menekankan rasa kehilangan besar yang dialami Yesus. Mencintai memang menakutkan. Halevi sang penyair menyebut tindakan mencintai adalah “bagi orang bodoh,” tetapi ia juga menyebutnya “sesuatu yang suci.” Itu sungguh benar, terutama bagi mereka yang imannya “tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah” (Kol. 3:3).
Kita mencintai dan kehilangan segala sesuatu, dari pasangan hidup, anak-anak, orang tua, teman, hingga hewan peliharaan. Mengalami semua itu, sangat manusiawi apabila kita menangis dengan “sukacita yang pedih.” Namun, bagi orang percaya, tangisan kita hanya berlangsung sementara, seperti yang dituliskan Daud, “Sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai” (Mzm. 30:6). Allah Bapa kita tidak akan membiarkan kita kehilangan pengharapan.
Oleh: John Blase
Renungkan dan Doakan
Apa yang mempengaruhi kesanggupan Anda untuk mencintai? Siapa orang terakhir yang Anda tangisi, dan mengapa?
Ya Bapa, berikanlah aku keberanian untuk mencintai.
Amin....
Selamat menjalani hari ini dengan semangat dan Kekuatan dari Tuhan, Gbu....
WAWASAN
Ketika kita bertemu Sara di Kejadian 11, ia masih bernama Sarai, istri Abram, yang “mandul, tidak mempunyai anak” (ay. 30). Mereka tinggal di Ur-Kasdim di kawasan Sungai Efrat, yang, menurut temuan arkeolog, merupakan sebuah kota perdagangan yang makmur dengan perpustakaan besar. Ketika mertua Sarai, Terah, membawa seluruh keluarganya pergi (termasuk anaknya Abram, istri Abram, dan cucu Terah, Lot) menuju Kanaan, boleh jadi sulit untuk meninggalkan sanak saudara dan kenyamanan dari Ur-Kasdim yang makmur. Dari Ur, mereka tinggal di Haran, tempat Terah kemudian meninggal. Di sinilah Allah menyuruh Abram untuk pergi ke Kanaan, dan di sana Dia berjanji membuat Abram menjadi “bangsa yang besar” (12:2). Setelah melewati banyak salah langkah dan kemalangan, bertahun-tahun kemudian Abram dan Sarai yang telah tua (kini bernama Abraham dan Sara, 17:5,15) mengalami kebahagiaan karena memiliki Ishak, anak yang hadir sebagai penggenapan janji Allah (21:1-7). Sarah meninggal pada usia 127 tahun, dan Abraham “meratapi dan menangisinya” (23:2). Kita pun akan menghadapi kedukaan, tetapi Allah akan memberikan pengharapan dan penghiburan yang kita perlukan. –Alyson Kieda
Anda bisa memberikan dampak yang lebih berarti
Our Daily Bread
Tidak ada komentar:
Posting Komentar